BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Ketika Rasulullah saw masih hidup, semua persoalan hukum, dan semua
masalah yang menyangkut tentang hablu minaallah dan hablu minannas d di
serahkan pada beliau, namun setelah beliau wafat mulai timbul
perbedaan-perbedaan pendapat, dan penafsiran mengenai hukum, ataupun ilmu yang
lainnya, tidak terkecuali ilmu fiqh.
Ilmu fiqih termasuk ilmu yang sangat penting dalam islam, yang mana
dalam ilmu fiqih-lah di terangkan hukum-hukum islam, mulai masalah yang
terkecil hingga masalah yang terbesar.
Dalam ilmu fiqh sering kita dengar nama-nama seperti imam abu
hanifah, imam malik, imam syafi’i, dan imam hambali, merekalah para pendiri
madzhab fiqh, yang memberikan gambaran dan penafsiran tenang hukum fiqh secara
berbeda-beda meskipun terkadang juga ada yang sama.
Tentu dalam memberikan penafsiran dalam menentukan hukum fiqh,
mereka tidaklah sembarangan, semua memiki dasar yang kuat.
Selain memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda-beda mengenai
hukum fiqh, mereka juga mempunyai riwayat hidup yang berbeda-beda pula, yang
mana akan di terangkan lebih jelas dalam makalah ini.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaimana
sejarah mengenai riwayat hidup imam abu hanifah, imam malik bin anas, dan imam
Muhammad bin idris as-syafi’i?
2.
Bagaimana
pandangan hukum islam menurut para pendiri madzhab fiqh tersebut?
Tujuan Pembahasan.
1.
Mengetahui
sejarah singkat mengenai riwayat hidup imam abu hanifah, imam malik bin anas,
imam Muhammad bin idris as-syafi’i.
2.
Mengetahui
pandangan hukum islam menurut para pendiri madzhab fiqh.
Manfaat Pembahasan.
Adapun manfaat yang di harapkan dari penulisan makalah ini selain
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, juga agar penulis maupun
pembaca dapat lebih mengetahui tentang Sejarah Singkat Para Pendiri Madzhab Fiqih, dan
Pandangannya Tentang Hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Singkat Mengenai Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah, Imam Malik Bin Anas,
dan Imam Muhammad Bin Idris As-Syafi’i.
A. Imam Abu
Hanifah
Nama
lengkapnya adalah Al-Nu’man bin Tsabit bin Marzaban Al farisy biasa dipanggil
Abu Hanifah, gelarnya Al Imam Al-‘Azam (Imam besar), dan terkenal dengan
sebutan Imam Ahli Al-Ra’yi (Imam ahli logika). Dilahirkan tahun 80 H. Di Kuffah
pada masa kholifah Abdul Malik bin Marwan, dan hidup di dalam keluarga kaya
yang shaleh. Dia menghafal Al Quran sejak masa kecil dan merupakan orang
pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru. Abu Hanifah adalah
salah satu dari imam empat dan pemilik madzhab yang terkenal.
Parasnya
tampan, ucapannya fasih, santun, argumentasinya kuat, sangat cerdas, berwibawa,
terhormat, terdiam, selalu berfikir dan kata-katanya bagaikan mutiara. Di masa
hidupnya pernah melihat dan mendengar tujuh sahabat Nabi, yaitu : Anas bin
Malik, Abdullah Al-Zubairi dan Amru bin Haris. Disamping itu berani
menjustifikasi beberapa perowi hadits yang lemah hafalannya dan membantah atas
ketsiqatannya yang dianggap adil oleh para imam ilmu hadits, seperti Ibnu
Ma’in, Abu Daud, Ibnu Al-Madiniy dan Sya’ab. Dia juga meriwayatkan hadits dari
Atha bin Abi Rabah yaitu Syaikh pertama, dan dari Sya’biy dan Amru bin
Dinar.meriwayatkan darinya Ibrahim bin Thahman salah satu ulama Khurasan, Ishaq
Al-Azrak dan hamzah Az-Zayyat. Yazid bin Harunberkata: “saya tidak melihat
seorang pun yang lebih cerdas dari Abu Hanifah”. Imam Syafi’i berkata: “tidak
seorang pun mencari ilmu Fikih kecuali dari Abu Hanifah. Dari ucapannya sesuai
apa yang datang dari Sahabat dan apa yang datang dari selain mereka dia
memilihnya”.
Suatu
saat seseorang membentaknya ketika dia sedang belajar, Abu Hanifah tidak
menoleh kepadanya sedikitpun, tidak memutus ucapannya dan melarang teman yang
akan mengingatkannya. Ketika selesai Abu Hanifah bangkit beranjak pulang, orang
itupun mengikutinya sampai di depan pintu, kemudian Abu Hanifah berkata: “ini
adalah rumahku, kalau masih tersisa pada mulutmu maka selesaikanlah sehingga
tidak ada sisa sedikitpun.” Orang itu kemudian merasa malu dan pulang dengan
hampa.”
Dia
(Imam Abu Hanifah) adalah seorang pedagang sutera, mengirim dagangannya ke
Baghdad untuk diniagakan, dan kembalinya ia membeli apa-apa yang dibutuhkan
oleh para guru hadits dan fikihnya tanpa imbalan sedikitpun, dan berkata: “ini
adalah rezeki dari Allah untuk tuan-tuan melalui tanganku.” Salah satu
pendapatnyayang terkenal adalah diperbolehkannyamengeluarkan zakat fitrah
dengan uang.
Karya-karyanya
dari ilmu fikih adalah Al-Musnad, Al-Kharaj dan dinisbatkan kepadanyakitab
Al-Fiqhu Al-Akbar. Khalifah Abu Ja’far Al-Mannsur bersumpah untuk menjadikannya
Qadhi, namun Abu Hanifah bersumpah untuk tidak melakukannya, dan berkata:
“Amirul Mukminin lebih mampu dari pada saya untuk menunaikan kifarat atas
sumpahnya”. Dari ucapannya ini khalifah merasa dilecehkan dan memerintahkan
untuk menangkap dan memenjarakan Abu Hanifah sampai wafat pada tahun 150 H.
Pada usia tujuh puluh tahun.
B.
Imam Malik
Nama
lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Ashbahiy Al-Himyari
yang biasa dipanggil Abu Abdullah,
gelarnya Imam Dar Al-Hijrah. Dilahirkan di Madinah tahhun 93 H. Seorang yang
tinggi tegap, hidungnya mancung, matanya biru, dan jeenggotnya panjang. Baik
perangainya, cerdas, cepat hafal dan faham Al-Quran sejak masa kecilnya.
Merupakan salah satu imam empat dan pemilik madzhab yang banyak diikuti.
Dia
berkata: “saya tidak belajar kecuali untuk diri sendiri, dan saya tidak belajar
agar supaya orang-orang membutuhka saya.” Imam syafi’iy berkata: “kalau tidak
ada Imam Malik dan Ibnu ‘Uyainah, maka hilanglah ilmu dari negeri Hijaz.” Imam
Adz-Dzahabi berkata: “ilmu fikih berhulu pada Imam Malik, dan pendapatnya
secara umum baik.” Madzhabnya terkenal dan tersebar di Maroko, Andalusia,
Yaman, Sudan, Bashrah, Baghdad, Kuffah,
sebagian Syam, Mesir, dan Khurasan. Diantara gurunya adalah Nafi’ Maulana
Ibnu Umar, Ibnu Syihab Az-Zuhriy dan Hisyam bin Urwah. Sedang muriid-muridnya
adalah Yahya Al-Qhathan, Abdullah bin Mubarak, Waqi’ bin Jarrah, dan Syafi’iy.
Teman-temannya antara lain Sufyan Ats-Tsauri, Abu Haanifah An-Nu’man, Abu Yusuf
dan Al-Laits bin Saa. Dia mempunyai catatan surat menyurat dengan Al-Laits bin
Saad yang terkenal alim. Dia dan Abu Yusuf keduanya bergelar Asy-Syaikhoni dan
merupakan orang kedua setelah Imam Malik dalam madzhab Malikiyah. Abu Yusuf
berkata: “demi Allah saya tidak akan mendekati rajadari para raj mendekat
kepada Imam Malik, kecuali Allah mencabut kewibawaannya dari dadaku.
Pernah
dipukuli dan disiksa sampai mengelupas kulit tangannya, karena dia berpendapat
bahwa tidak jatuh talaknya orang yang dipaksa. Dan menolak permohonan Abu Ja’far
Mansur agar orang-orang membawa kitab Al-Muwatha yang merupakan kitab jami
dalam ilmu fikih dan hukum. Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Imam Malik adalah
pakar ilmu di Negeri Hijaz, dan hujjah pada zamannya. “Membahas kalimat
“Hasbunallah wa ni’mal wakil”, ketika ditanya tentang masalah ini, dia
menjawab: ”Saya mendengar Allah SWT berfirman setelah ayat ini, “Fanqalabu
bini’matin minallahi wal Fadhal”. Dia tidak pernah naik kendaraan di kota Madinah
walaupun sudah lemah dan lanjut usia, karena menghormati negeri dimana
Rasulullah SAW berpijak. Dia juga menghormati para khalifah tapi tidak
mengharuskannya, pernah menerima hadiah dari khalifah Al-Mahdi setelah hampir
menolaknya. Dan ketika khalifah merutinkan hadiah untuknya dia mnolak. Dia
berkata: “Ilmu adalah hutang, maka lihatlah dari siapa kalian mengambilnya”.
Dia berkata: “saya tidak berfatwa kecuali disaksikan oleh 70 orang, walaupun mereka
melarang saya, saya tidak berhenti”. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra
bahwasanya Nabi SAW bersabda: “dikhawatirkan
oranng akan memukuli hati unta untuk mencari ilmu, dan tidak menemukan
seorangpun yang pandai di negeri Madinah”. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu
Uyainah bahwa dia ditanya: “siapakah pakr dari Madinah?”, dia menjawab: “Dialah
Malik bin Anas.” (HR. Imam tirmidzi dalam kitab Sunan, dan berkata Hasan).
Seseorang
datang meminta fatwa dalam suatu masalah, maka Imam Malik berkata: “Saya tidak
mengetahuinya...” orang itu berkata: “saya telah mendatangi tokoh-tokoh
semuanya meemerintahkan untuk menanyakan hal ini kepadamu, bagaimana saya
memberitahu kepada keluargaku?” Imam berkata kepadanya: “katakanlah kepada mereka, saya telah bertanya kepada Malik, dan
dia menjawab: “saya tidak menngetahuinya...” Harun Al-Rasyid mengutus agar dia
datang memberi ilmu, kemuddian Imam Malik berkata: “ilmu itu didatangi”. Maka
Harun Al-Rasyiddatang menemui di rumahnya dan bersandar pada dinding, Malik
berkata: “Termasuk penghormatan terhadap Rasulullah jika kita menghormati
ilmu”, kemudian Harun menghadap Imam Malik dan diberi ilmu.
Karyanya
antara lain Al-Muwatha, Risalah fi Al-Qadr, Al-sir, dan Risalah fi Al-Aqdiyah.
Karya jalaludin As-Suyuthi kitab Tazyiinu Al-Mamalik bi Manaqibi Imam Malik, dann Karya Muhammad bin
Zahra kitab Malik bin Anas: Hayatuhu-‘ushuruhu. Wafat di Madinah tahun 179 H.
C.Imam
Syafi’i
Nama
lengkapnya Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman nib Syafi’ bin Sya’ib bin
Ubaid bin Hisyam bin Abdul Mutholib bin Abdu Manaf bin Khusyai. Dilahirkan di
Syam tahun 150 H di hari wafatnya Imam Abu Hanifah. Tinggal di kota Makkah
kemudian ke Iraq, sampai akhirnya menetap di Mesir. Hidup dalam kondisi yatim,
dan ibunda mengajarinya ilmu. Hafal Al Quran pada usia 7 tahun. Meriwauyatkan
dari Imam Malik, Muslim Az Zanji, Ibnu Uyainah, Ibrahim bin Saad Fudail bin
Abbas dan lainnya. Sementara yang meriwayatkan dirinya adalah Al Humaidi, Ahmad
bin Hambal, Al Buwqaidi, Al Muzani, dan lainnya. Menjadi murid Imam Malik
belajar dalam ilmu fikih, menghafal Al Muwathof pada usia 20 tahun. Sangat
cerdas, kuat hafalannya pada penglihatan pertamanya, dengan cara menutupi
halaman sesudahnya karena khawatir akan terbaur. Salah satu Imam 4 , dan
pemilik madzhab yang diikuti. Madzhabnya tersebar di Mesir, Iraq, Dagistan, dan
negeri timur.
Ulama Asy Syafi’iyah antara lain: An
Nawawi, Syaukani, Ibnu Rrif’ah, Ibnu Daqiq Al Iqamah As Subki dan Al balqini.
Imam Ahmad bin Hambal berkata tidak seorang pun dari ahli hadis yang membawa
tinta kecuali Imam Syafi’i dan saya tidak tahu Nasikh dan Mansukh dari haddits
kecuali setelah berguru kepadanya dia berkata Imam Syafi’i bagaikan matahari
bagi alam raya, dan penyegar bagi tubuh, apakah ada manusia yang tidak
membutuhkannya?”. Dia juga seorang penyair yang baik, ahli bahasa dan asal
muasalnya, serta ahli nasab. Diantara ungkapannya: “barang siapa hafal Al-Quran
akan mulia nasibnya, barang siapa mendalami ilmu fikih akan tinggi derajatnya,
barang siapa hafal hadits akan kuat argumentasinya, barang siapa hafal bahasa
arab dan syair akan menggetarkan kepribadiannya, barang siapa tidak menjaga
dirimaka ilmunya tidak bermanfaat”.
Diantara karyanya: Al-Umm dalam ilmu
fikih, Ar-Risalah dalam ilmu ushul fikih. Dan meninggal di Mesir tahun 204 H.
D. Imam Ahmad Bin Hambal
Nama
lengkapnya adalah Ahmad bin Hambal Syaibani Al-Marwazi dan biasa dipanggil Abu
Abdullah gelarnya Imam ahli sunnah. Dilahirkan di Baghdad tahun 164 H. Mencari
ilmu di Mekkah, Madinah, Syam, Yaman, Kuffah, Bashrah dan di tempat lain. Tidak
berkeluarga kecuali setrlah usianya empat puluh tahun, sehingga urusan mencari
nafkah dan nikah tidak mengganggu waktunya untuk mencari ilmu. Berguru kepada
Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin Saad, Yahya Al-Qathan dan kepada yang lain.
Meriwayatkan dari Baghawi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Dunya dan yang lain. Imam
Syafi’iy berkata kepadanya kerika bepergian yang kedua ke Baghdad: “Wahai Abu
Abdullah, kLu menurutmu Hadits ini shohih dan kamu mengabariku, maka aku akan
pergi mencari ke Hijaz, Syam, Irak, atau Yaman. “ Dia selalu membaca Hadits
dari kitab, tidak pernah menyampaikan Hadits dengan hafalannya. Dia merupakan
seorang Imam Hadis di Zamannya.
Dia diajak untuk mengatakan bahwa
Al-Quran adalah makhluk bukan
kalamullah, namun menolak pendapat tersebut, kemudian ditangkap, disiksa
dan baru dikeluarkan pada tahun 220 H. Dia salah satu Imam empat dan pemilik
madzhab yang diikuti. Dia selalu menjadi contoh dalam masalah zuhud, ilmu,
takwa, ibadah, teguh dalam membela kebenaran. Lantunan doa yang palin sering
diucapkan: “Allahumma sallim, sallim.” Abu Daud berkata: “Majlis Imam Ahmad
adalah majlis akhirat, tidak permah terdengar didalamnya masalah duniawi. Tidak
sekalipun saya melihat Imam Ahmad menyebut masalah dunia.”
Suatu hari seorang laki-laki datang
menemuinya dan berkata: “sesumgguhnya ibuku lumpuh sudah 20 tahun lamanya. Ibu
menyuruh saya menghadapmu untuk memintakan doa untuknya”. Imam Ahmad marah dan
berkata: “kita lebih lumpuh, suruh ibumu mendoakan kami, daripada kami
mendoakannya”. Kemudian atas desakannya dia berdoa kepada Allah untuk ibunya.
Orang laki-laki itu pulang mengetuk pintu rumah, dan tidak disangka-sangka
ibunya membukakan pintu dengan keadaan bisa berjalan, sambil berkata: “Allah
telah memberikan kesembuhan untukku”.
Mengenai hasil ijtihad Imam Ahmad
dibidang ilmu fikih, dalam banyak hal memang berlainan dari beberapa Imam
pendahulunya, khususnya Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Ia lebih banyak
cenderung pada madzhab Imam Syafi’iy yang didalamnya terdapat pengaruh madzhab
Imam Al-Layts ibn Saad di Mesir. Namun Imam Amad berbeda sepenuhnya dengan Imam Syafi’iy dalam
hal menentuka pilihan masalah mana yang baik, juga dalam hal menentukan
absahnya syarat-syarat suatu perjanjian. Imam Ahmad banyak menemukan
Hadits-hadits dan berita-berita riwayat yang tidak ditemukan oleh Imam
Syafi’iy. Oleh karena itu, ia pernah berkata kepada Imam Ahmad dan beberapa
orang rekannya dari ulama ahlu hadits (madzhab Maliki), “Kalian lebih banyak
mengetahui hadits-hadits dan berita-berita riwayat. Jika yang kalian ketahui
adalah hadits shohih, hendaklah kalian memberitahukan kepadaku”.
Kelompok mu’tazilah mengajak
Khalifah Al-Makmun untuk mengikuti pendapat bahwa Al Quran adalah makhluk dan
terlepas dari sifat-sifat Allah. Khalifah tidak menerima pendapat mereka dan
tetap berpegang kepada madzhab salaf. Namun ketika kelompok mereka menguasai
khalifah semua digiring mengikuti pendapatnya. Mereka mengirim surat kepada
gubernur Baghdad yaitu Ishak bin Ibrahim untuk mengajak masysrakat mengikuti
pendapat mu’tazilah ini, namun ishak dan ulama hadits menolak ajakan tersebut.
Kemudian Baghdad ditekan dengan embargo bahan makanan. Imam Ahmad terus
melakukan aksi penolakan bersama Muhammad bin Nuh Al-Jundiy, akhrnya keduanya
ditangkap dan dilaporkan kepada kholifah. Ketiak sampai di negeri Rabbah
keduanya didatangi orang baduwi, bernama Jabir bin Amir meemberi salam kepada
Imam Ahmad dan berkata: “Kamu adalah utusan seorang kaum, jangan sekali-kali
mengkhianati mereka, kamu adalah pimpinan kaum, jangan sekali-kali mengikuti
ajakan mu’tazilah, kalau kmu mencintai Alllah, bersabalah dalam pendirianmu
karena tidak ada pembatas antara kamu dan surga kecuali dibunuh. Kalau tidak
menyerang kamu akan dibunuh, kalau hidup, hiduplah secara terpuji”. Imam Ahmad
mengatakan: “ Ucapannya membuatku teguhuntuk trtap menolak terhadaap ajakan
mereka”. Ketika rombongan sudah dekat dari pendopo kekholifahan seorang hamba
mendekat dan meneteskan air mata sambil berkata: “Wahai Abu Abdullah,
sesungguhnya Al Makmun tidak pernah menghunus pedangnya seperti yang dia
lakukan sekarang, dia bersumpah atas nama ekerabatan dengan Rasulullah jika anda
tidak mengatakan Al-Quran sebagai makhluk”. Ia akan membunuhmu dengan pedangnya
Imam Ahmad terduduk, matanya meenatap langit dan berkata: “Wahai Tuhanku, apa
yang terjadi dengan penguasa fajir ini, sampai dia tega memukul dan membunuh.
Ya Allah, kalau benar Al Quran kalam-Mu bukan makhluk, cukupkanlah
kedzalimannya”. Kemudian terdengarlah jeritan atas kematian Makmun pada
sepertiga malam terakhir.
2.2. Pandangan
Imam 4 Madzhab Terhadap Hukum Islam.
A. Imam Abu Hanifah
Fiqih abu hahifah berpijak pada kemerdekaan berkehendak. Seluruh
hukum dan pendapat beliau selalu berpijak pada pendirian bahwa kemerdekaan,
dalam pandangan syari’at, wajib dipelihara, dan dampak negatife dan dampak
negatife dari pembelaan terhadap kemerdekaan adalah lebih ringan bencananya daripada
pembatasan terhadapnya.
Oleh karena itu kejahatan yang diperbuat oleh wanita muda dalam
memilih suaminya lebih ringan bencanaya ketimbang ia dipaksa kawin dengan
laki-laki yang tidak dikehendakinya.
Abu hanifah tidak membolehkan waqaf kecuali kepada masjid, karena
waqaf atau penahanan harta itu mengikat kemerdekaan pemiliknya dalam mengelola.
Bahkan, dalam hal kesungguhan membela kemerdekaan ini, beliau tidak membolehkan
hakim membatasi kemerdekaan pemilik harta, meslipun ia melakukan kesalahan
dalam mengelola hartanya sampai membahayakan orang lain. Beliau menghendaki
agar semua ini di tinggalkan demi rasa solidaritas sosial yang wajib
dilaksanakan oleh setiap individu, sehingga seseorang bisa menghormati
kemerdekaan orang lain dan memepertahankan kemerdekaanya sendiri dengan cara
tidak melanggar kemaslahatan atau kemerdekaan orang lain. Hal ini merupakan
urusan yang membela kebebasan manusia dalam kehidupan bersama dan tidak ada
jalan bagi hakim untuk bercampur tanggan membatasi kemerdekaan seseorang dalam
segala tindakannya.
Pernah datang kepada abu hanifah seorang laki-laki untuk melaporkan
tindakan tetangganya yang menggali sumur di dekat temboknya sehingga
mempengaruhi kelembapan rumah laki-laki itu. Maka beliau memerintah laiki-laki
itu untuk meminta agar tetangganya menimbun sumur tersebut dan menggali lagi di
tempat lain. Dalam kesempatan lainlaki-laki itu berkata, “saya telah memintanya
agar menimbun sumurnya itu, namun ia menolak dengan aniaya”. Abu hanifah
menasehati, “kalau begitu, galilah saluran di rumahmu kearah sumur tersebut”.
Laki-laki itu kemudian melakukan perintah tersebut, sehingga air sumur tersebut
teraliri dari saluran itu, dan karenanya tetangga itu terpaksa menimbun sumur
tersebut dan menggali lagi di tempat yang jauh dari tembok milik laki-laki yang
melapor itu.
Ciri
khas Imam Abu Hanifah adalah dalam ijtihadnya menggali ketentuan-ketentuan
hukum fikih, yaitu selain berpegang pada kitabullah Al-Quran, ia juga tetap
berpegang atau berpedoman pada riwayat-riwayat hadits. Akan tetapi hanya hadits
yang benar-benar shahih sajalah yang dijadikan sandaran. Dalam metode qiyasnya,
ia tidak berbeda jauh dengan para Imam ahli fikih lainnya, yakni tidak
mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum yang pernah berlaku sebelumnya, khususnya
mengenai kasus-kasus yang tidak terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Imam
Abu Hanifah berpendapat, qiyas yang benar adalah yang dapat mewujudkan tujuan
Asy-Syar’iy (Allah). Ia juga berpendapat bahwa hukum yang berdasarkan qiyas
yang benar lebih baik dari pada hukum yang didasarkan pada hadis-hadis yang
tidak benar. Menurutnya, qiyas mempunyai kaidah yang pasti, yaitu mewujudkan
kemaslahatan umat, dan itulah yang menjadi tujuan syariat.
Dalam
mengartikan ketentuan hukum syariat, Imam Abu Hanifah tidak terpaku pada
nash-nash saja. Akan tetapi ia menggali dalil-dalilnya dan berusaha menghadapi
setiap peristiwa berdasarkan hukum. Baik peristiwa yang sedang terjadimaupun
peristiwa atau kasus dalam hal lain yang mungkin akan terjadi.
Kasus-kasus
yang terjadi atau yang dibayangkan mungkin akan terjadi membutuhkan ijtihad
untuk menarik kesimpulan hukum dalam menghadapinya apabila hal-ihwal seperti
itu tidak terdapat nashnya dalam Al-Quran, Hadits, ataupun dalam ijma’ para
sahabat.
Imam
Abu Hanifah memfatwakan semua soal yang memudahkan manusia melaksanakan ajaran
agama dan memudahkan kehidupan. Karenanya, ia berpendapat bahwa keraguan tidak
menghapuskan keyakinan. Sebagai contoh, jika orang salah berwudlu kemudian ia
meragukan keabsahan berwudlunya karena merasa seolah-olah sudah terkena hadats
(lupa-lupa ingat), wudlunya tetap sah, karena keraguannya tidak menghapus
keyakinannya.
Ia
juga memfatwakan, tidak seorangpun berhak melarang orang lain menggunakan apa
yang dimilikinya. Berhak menetapkan kekafiran seorang muslim selagi ia masih
tetap beriman kepada Allah dan Rosul-Nya, kendati ia telah berbuat berbagai
maksiat. Barangsiapa yang mengkafir-kafirkan seseorang muslim, ia berdosa.
Imam
Abu Hanifah juga memfatwakan bahwa surah Al-Fatihah dan lainnya, yang bacaannya
diucapkan oleh imam, tidak harus diucapkan lagi bacaannya oleh orang-orang yang
makmum dibelakangnya. Tanpa membaca surah Al-Fatihah dan lainnya, shalat
makmumnya sah, karena cukup dibacakan oleh imam sendiri.
Demikian abu hanifah memberi penerangan kandungan ajaran islam
kepada manusia, misalnya, menghormati kemerdekaan dan kehendak dengan
berpedoman kepada alquran, sunnah yang shahih, dan pendapat yang di gali dari
kias, dan dengan senantiasa memelihara kemaslahatan yang telah terwujud atau
kebiasaan-kebiasaan yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip islam.
B.Imam Maliki
Bagaimanapun sikapnya imam malik telah memperkaya fiqih islam
dengan pendapat beliau dengan teori kemaslahatan dan menjadikannya sebagai
pertimbangan hukum serta sebagai dasar pengambilan hukum sehubungan dengan
masalah yang tidak ada teks dalilnya yang menunjukkan boleh atau melarang.
Disamping itu juga, konsep beliau tentang sesuatu yang menjadi perantara;
sesuatu yang mendatangkan hal yang halal adalah halal, dan sesuatu yang
mendatangkan hal yang haram adalah haram: anda adalah merdeka dengan hak milik
anda, akan tetapi dalam kemerdekaan itu anda tidak boleh merugikan orang lain.
Misalnya, apbila anda menggali sumur di belakang pintu lalu mengakibatkan
jatuhnya dan matinya orang yang masuk, maka tindakan anda itu haram.
Dalam berfatwa dan berpendapat, imam malik berpegang kepada
alquran, sunnah, ijma’, amal penduduk madinah, dan pemeliharaan kemaslahatan.
Imam malik misalnya, bahwa istri berhak mentalak apabila suami
tidak memberi nafkah atau pada diri suaminya terlihat cacat, baik jasmani
maupun rahani, yang ketika akad nikah dia belum mengetahuinya.
Dalam kesempatan lain, imam malik juga berfatwa tidak boleh
berpuasa enam hari dalam bulan syawal. Beliau menolak dan mengingkari adanya
hadis yang khusus menganjurkan puasa ini.
Berpuasa enam hari dalam dalam bulan syawal dapat menimbulkan
penambahan atas bulan ramadhan. Ketidakmauan melakukan puasa enam hari dalam
bulan syawal ini merupakan tindakan penduduk madinah. sunnah yang mereka terima
dari Rasulullah Saw. Melalui ribuan orang secara berantai adalah lebih utama
untuk diikuti ketimbang hadis yang diriwayatkan oleh perorangan.
Beliau berpendapat bahwa syari’at berdiri atas dasar menarik
manfaat dan menjauhkan diri dari jalan yang menuju kesesatan. Oleh karena itu
setiap perbuatan yang menjadi perantara bagi perbuatan lain harus dilihat
akibatnya, apabila akibatnya menimbulkan kemaslahatan, maka perbuatan itu
boleh, dan apabila menimbulkan kesesatan maka perbuatan itu wajib dicegah.
Fiqih maliki berkembang, diikuti, dan diperkaya oleh banyak
pemikir, mujtahid, dan fuqaha, diantaranya adalah filosof Andalusia ibnu rusyd.
Namun sebagian sebagian orang yang hidup sezaman dengan beliau menentang keras,
dan sebagian sahabat beliau berselisih dan mengkritik beliau, misalnya,
al-Laits, seorang faqih mesir, dan murid beliau as-Syafi’i.
Sahabat imam malik, Al-Laits bin sa’ad, menulis surat yang cukup
panjang kepada beliau dan menjelaskan bahwa tindakan penduduk madinah pada masa
berikutnya tidak bisa dianggap sebagai sunnah dan tidak dapat diikuti setelah
berlalunya masa Rasululla Saw dan khulafa’ur Rasyidin, karena para sahabat
meninggalkan madinah setelah terbunuhnya umar, dan mereka terpencar dibarbagai
Negara serta menyebarkan fiqih mereka ditempat masing-masing.
Penduduk madinah pertama pada masa Rasul adalah sebaik-baik
komunitas, namun setelah itu (pada masa Malik) mereka sudah tidak ada lagi.
Imam Al-laits tidak lupa menanyakan pada sahabatnya, Malik bin Anas, apabila
beliau membutuhkan harta.
Apapun yang terjadi dalam perselisihan antara malik dan
murid-muridnya, madzhab Maliki hidup berkembang dan mengalami pembaharuan
sehingga pernah dijadikan sebagai peraturan dalam hukum keluarga di mesir sejak
awal abad Masehi ini dan berahir pada tahun 1979 yang lalu.
Menskipun sejumlah sahabat dan muridnya berselisih dengan imam
malik, namun mereka sangat mengagungkan, menghargai, dan menghormati beliau.
Salah seorang murid beliau, Asy-Syafi’i, berkata, “apabila disebut
suatu hadis, maka Malik adalah bintang yang cahayanya menembus”.
Al-Laits bin sa’d yang sempat bersahabat cukup lama, saling
berkirim surat, dan memberi harta dan hadiah. Al-Laits berkomentar tentang imam
Malik pada saat mereka berselisih dengan perselisihan yang tajam, “Malik adalah
wadah ilmu”.
C.Imam Syafi’i.
Dalam melakukan
istimbat hukum, Syafi’i tidak menyandarkan pada pendapat yang berkembang sebelumnya.
Ia melakukan ijtihad dengan landasan dari sumber utamanya yaitu al-Qur’an dan
al-Hadits. Meskipun keberadaan Imam Syafi’i di tengah-tengah berkembangnya
pemikiran Imam Malik yang cenderung tradisional dengan memegang teguh sunnah
Nabi SAW (ahl al-Hadits ) dan pemikiran Imam Abu Hanifah yang cenderung
rasional (ahl al-Ra’yu ), tetapi pemikiran Syafi’i mempunyai karakteristik
tersendiri, dan itu terus dipertahankan oleh para muridnya dalam bangunan
mazhab Syafi’i.
Pemikiran Imam
Syafi’i tampaknya menjadi jalan tengah bagi corak pemikiran dua tokoh
sebelumya, yakni Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Menghadapi dua corak
pemikiran yang cenderung kontradiktif itu, secara cermat dan selektif, Imam
Syafi’i mampu membaca secara seimbang antara fiqh yang berkembang di Hijaz dan
di Irak.
Kebersamaannya
dengan Imam Malik di Hijaz selama tiga tahun dengan kondisi yang sangat
sederhana, telah membuat Syafi’i mampu menguasai pemikiran Imam Malik. Sehingga
ia cenderung pada aliran ahl al-Hadits, bahkan mengaku sebagai pengikut Imam
Malik. Namun, ketika beliau mengembara ke Irak untuk mempelajari pemikiran Imam
Abu Hanifah, maka beliau mulai tertarik pada pemikiran rasional. Apalagi pada
saat itu Irak sebagai daerah perkotaan yang sudah pasti mempunyai berbagai
macam permasalahan kehidupan yang sering kali tidak ditemukan ketentuan
jawabannya dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Dengan bekal
itulah Imam Syafi’i mulai membangun pemikiran moderatnya, yakni pola pemikiran
yang disamping berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber
utama, juga menggunakan rasio dalam melakukan proses pembentukan hukum. Pada
tataran praktis, Imam Syafi’i menggunakan metode ahl-Hadits dalam menyeleksi
hadits, dan pada saat yang sama mengembangkan pemikiran ahl-Ra’yu dalam
menggali tujuan-tujuan moral dan illat dibalik hukum yang tampak, sebagaimana
yang terdapat dalam teori qiyas.
Pokok
pikiran Imam Syfi’I dapat dipahami dari perkatannya sebagai berikut :
الأصل قرأن وسنّـة فإن لم يكن فقياس عليهما. وإذا اتصل الحديث من رسول الله وصحّ اسناد فهو منتهى. والإجمـاع أكبر من الخبر المفرد والحديث على ظاهره وإذا احتمل المعاني فما اشبه منها ظاهره اولاها به وإذا تكافأت الأحاديث فأصحها اسنادا اولاها, وليس المنقطع شيء ماعد منقطع ابن المسيّـب ولا قياس اصل على اصل ولا يقال لأصل لم, كيف؟ وإنما يقال للفرع لم؟ فإذا صح قياسه على اصل صح وقامت به حجة
الأصل قرأن وسنّـة فإن لم يكن فقياس عليهما. وإذا اتصل الحديث من رسول الله وصحّ اسناد فهو منتهى. والإجمـاع أكبر من الخبر المفرد والحديث على ظاهره وإذا احتمل المعاني فما اشبه منها ظاهره اولاها به وإذا تكافأت الأحاديث فأصحها اسنادا اولاها, وليس المنقطع شيء ماعد منقطع ابن المسيّـب ولا قياس اصل على اصل ولا يقال لأصل لم, كيف؟ وإنما يقال للفرع لم؟ فإذا صح قياسه على اصل صح وقامت به حجة
Artinya: Dasar
utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, jika tidak ada,
maka dengan mengqiyaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila sanad hadits
bersambung sampai pada Rosulullah SAW, dan shahih sanadnya, maka itulah yang
dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits
menurut zhahirnya. Apabila suatu hadits mengandung arti lebihdari satu
pengertian, maka arti yang zhahirlah yang utama. Hadits munqathi’ tidak dapat
dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh ibnu al-Musayyab. Suatu pokok
tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak
dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakn mengapa.
Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat
dijadikan hujjah.
Dari perkataan
beliau tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pokok-pokok pikiran beliau dalam
mengistimbatkan hukum adalah :
A. Al-Qur’an Dan Al- Sunnah
Imam Syafi’i
memandang al-Qur’an dan al-Sunnah berada dalam satu martabat, karena menurut
beliau, al-Sunnah itu menjelaskan al-Qur’an, kecuali hadits ahad tidak sama
nilainya dengan dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir.Di samping itu, karena
al-Qur’an dan al-Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan al-Sunnah
secara terpisah tidak sekuat seperti al-Qur’an.
Dalam
pelaksanannya menentukan suatu hukum,Imam Syafi’I menempuh cara, bahwa apabila
di dalam al-Qur’an tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadits
mutawatir, jika tidak ditemukan maka ia akan menggunakan khabar ahad, jika
tidak ditemukan juga maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan zhahir
al-Qur’an atau sunnah secara berturut-turut.
Dalam menerima
hadits ahad sebagai dasar hukum, beliau mensyaratkan sebagai berikut :
1. Perawinya
terpercaya
2. Perawinya
berakal
3. Perawinya
dhabith ( kuat ingatannya )
4. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu
dari orang yang menyampaikan padanya
5. Perawinya
tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadits itu
B. Al-Ijma’
Kesepakatan
tentang satu keputusan atau yang dikenal dengan ijma’ merupakan salah satu
dasar hukum Syafi’i. Sebelumnya, Imam Malik juga memperkenalkan konsep ini,
namun berbeda dengan gurunya, Syafi’i memperketat persyaratan ijma’ sebagai sumber
hukum.
Dalam
mengoperasionalkan ijma’ sebagai sumber hukum, Imam Syafi’i menyandarkan
persepakatan itu atas dasar sunnah. Artinya, ijma’ itu bisa dijadikan sumber
hukum jika terdapat sunah yang melegitimasinya.
Hal ini tampak
pada pembicaraan Syafi’i ketika beliau menjawaab pertanyaan seseorang tentang
ijma’. Menurut Syafi’i terbatas mengenai apa yang disepakati dan ada landasan
riwayat dari Rosulullah SAW. Sedangkan ijma’ yang tidak terkait dengan riwayat
formal dari Nabi, tidak dapat ditegaskan sebagai sumber hukum, sebab,
seorang hanya dapat meriwatkan apa yang ia dengar, ia tidak bisa meriwayatkan
berdasarkan dugaan di mana kemugkinan Nabi sendiri tidak pernah mengatakan atau
melakukannya.
C. Al-Qiyas
Imam Syafi’i
menggunakan qiyas dengan syarat tidak adanya dasar dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah atau illah mundabitah ( alasan yang tepat ) dalam merumuskan qiyas
sebagai metode memutuskan hukum suatu persoalan. Sebab, istidlal melalui qiyas
ini seperti dikemukakan Imam Syafi’i tidak bisa dipandang benar oleh pihak
lain, kebenaran relative, tidak absolute sebagaiman nash.
Dengan tiga
dasar inilah Syafi’i membangun ijtihadnya. Ia tidak menggunakan istihsan dan
atau al-Maslaha al-Mursalah. Ia juga tidak menggunakan aqwal al-Sahabah dan
a’mal ahl-Madinah yang menyimpang dari nash hadits. Dengan demikian, Syafi’i
mengambil dari pada sahabat hanya hadits yang diriwayatkan, bukan perbuatan dan
perkataan mereka.
Pemikiran
moderat yang menjadi ciri khas dari Syafi’i banyak dipengaruhi oleh
pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Kebersamaannya yang cukup lama dan dekat
dengan gurunya, telah mempengaruhi pola pikirnya. Pemikirannya yang mencoba
menengahi pemikiran tradisionalnya Imam Malik dengan pemikiran Imam Abu Hanifah
akan memperkuat kesimpulan ini. Sebab, kedua pemikiran ahli fiqh tersebut
secara matang dikuasai Imam Malik.
Selain
dipengaruhi oleh pengembaraannya dalam menuntut ilmu, pemikiram Imam Syafi’i
juga merupakan refleksi zamannya. Artinya, pemikiran Syafi’i dipengaruhi oleh
kondisi sosial masyarakat di mana beliau melakukan ijtihad. Kehidupan
Syafi’i yang sangat dekat dan membaur dengan masyarakat, telah
berhasil memberikan pengetahuan tentang sosiologi manusia dan struktur sosial
masyarakat.
Munculnya qowl
jadid dan qowl qodim dalam pemikiran Syafi’i membuktikan bahwa, pemikirannya
memang dipengaruhi keadaan sosial masyarakat sebagaimana dijelaskan para ahli
sejarah. Qowl jadid adalah hasil pemikiran Imam Syafi’i ketika berada di Mesir,
sedangkan qowl qodim adalah hasil pemikiran Syafi’i ketika di Bagdad. Hadirnya
dua aliran pemikiran Imam Syafi’i tersebut bukanlah menunjukkan akan kematangan
pemikiran Imam Syafi’i, tetapi lebih sebagai suatu refleksi dari kehidupsn
sosial yang berbeda. Sebagaimana dua Imam sebelumnya, pemikiran Imam Syafi’i di
pengaruhi oleh faktor-faktor sosial-budaya di mana beliau hidup.
Pada tahun 195
H Syafi’i kembali lagi ke Bagdad, kedatangan beliau yang kedua ini membawa
pemikiran-pemikiran globalnya menarik perhatian ulama Irak.Ketika melihat
pemikiran Imam Syafi’i, al-Karibasi berkata, ” Saya tidak mengetahui bagaimana
istidlal dengan al-Kitab, al-Sunnah dan al-Ijma’ sehingga saya mendengar
penjelasan tentang ketiga sumber tersebut dari Syafi’i.
Di Bagdad,
Syafi’i mulai mempraktekkan kaidah-kaidah global ushuliyah yang dibangunnya
dengan menghadapi persoalan yang berkembang, sehingga pemikiran Syafi’i pada
masa itu mulai masuk pada masalah yang spesifik atau far’iyyah. Di Bagdad
sendiri berkembang bermacam-macam aliran pemikiran, banyaknya aliran pemikiran
yang berkembang inilah yang turut mendorong kematangan pola pikir Imam Syafi’i.
Melalui kaidah-kaidah dasarnya itu, Imam Syafi’i mengkritik pemikiran rasional
ulama Irak.
Pada tahun 199 H, Imam Syafi’i pergi dan tinggal di Mesir hingga wafat tahun 204 H. Selama tinggal di Mesir beliau mulai mengkaji kembali pemikirannya sendiri. Agaknya kondisi masyarakat Mesir yang kaya dengan warisan adat istiadat, peradaban dan pemikiran seperti kebudayaan fir’aun, Yunani, Persia, Romawi dan Arab, telah memberi pengaruh yang besar pada pemikiran Syafi’i, dan di Mesir inilah Imam Syafi’i membangun mazhab barunya yang dikenal dengan qowl jadid.
Pada tahun 199 H, Imam Syafi’i pergi dan tinggal di Mesir hingga wafat tahun 204 H. Selama tinggal di Mesir beliau mulai mengkaji kembali pemikirannya sendiri. Agaknya kondisi masyarakat Mesir yang kaya dengan warisan adat istiadat, peradaban dan pemikiran seperti kebudayaan fir’aun, Yunani, Persia, Romawi dan Arab, telah memberi pengaruh yang besar pada pemikiran Syafi’i, dan di Mesir inilah Imam Syafi’i membangun mazhab barunya yang dikenal dengan qowl jadid.
Paparan perkembangan
pemikiran Syafi’i itu membuktikan bahwa pemikiran Syafi’i memang banyak
dipengaruhi oleh kondisi social masyarakat di mana beliau tinggal. Pemikirannya
selama di Irak yang memiliki kebudayaan dan peradaban yang tinggi serta
berkembangnya tradidisi pemikiran rasional, tentu berbeda dengan pemikirannya
selama tinggal di Makkah ataupun Mesir. Inilah yang membuktikan bahwa kondisi
sosial masyarakat juga turut mempengaruhi pemikiran Imam Syafi’i dan para Imam
pada Umumnya.
D. Imam Ahmad Bin Hambal
pendapat-pendapat imam ahmad tentang keadilan, suri teladan yang
baik, dan hak-hak orang yang berhajat, serta fatwa-fatwa beliau semuanya
mengundang lawan-lawan beliau. Penggalian hukum-hukum yang beliau lakukan
berdasarkan pada teks-teks Alquran, sunnah, dan pendapat, serta atsar para
sahabat, kemudian dengan kias.
Imam ahmad bin hambal berkata tentang kias “saya bertanya kepada
Asy-Syafi’i tentang kias, maka beliau menjawab kias hanya dilakukan saat
keadaan terpaksa”.
Inilah yang dilakukan imam ahmad, beliau tidak menggunakan kias
kecuali tidak mendapatkan hukum dalam teks Alquran, atau pendapat ulama’ salaf.
Orang salaf menurut beliau adalah sahabat dan tabi’in.
Apabila terjadi perselisihan antar sahabat, maka beliau mengambil
hukum yang paling dekat dengan teks Alquran atau sunnah. Apabila terjadi
perselisihan antar tabi’in beliau mengambil hukum, yang paling dekat dengan
Alquran dan sunnah, atau pendapat yang disepakati oleh para sahabat, atau
pendapat yang paling mendekati teks dalil.
Imam ahmad berbeda dengan orang-orang sebelumnya. Beliau
mendahulukan hadist dho’if ketimbang kias, selama hadist dha’if itu menurutnya
bukan hadist maudhu’.
Tenjang ijma’, beliau berpendapat bahwa ijma’ setelah berahirnya
masa sahabat tidak berlaku lagi. Beliau berkata, “apa yang dituduh oleh
seseorang adalah dusta”.
Imam ahmad mengidentikkan ijma’ sahabat dengan sahabat, karena
mereka tidak akan bersepakat kecuali atas perkara yang telah mereka ketahui dengan
yakin dari Rasulullah SAW, baik berdasarkan riwayat atau berdasar ijtihad
mereka yang telah diakui keberadaannya.
Beliau bukan tidak mengakui ijma’ setelah periode sahabat, tetapi
tidak memungkinkan akan terjadinya. Karena itu beliau berpegang pada kias
setelah teks-teks alquran, sunnah, atsar para sahabat.
Dalam hal sikap, beliau berpegang pada kias sebagai salah satu
sumber fikihnya, yang tidak lain mengikuti sunnah dan jejak orang salaf yang
salaf. Beliau berkata, “kias tidak dapat dikesampingkan karena Rasulullah SAW
menggunakannya dan para sahabatpun menggunakannya setelah itu.
Menurut Imam Ahmad, kias dapat dikembangkan lebih banyak
ketimbang pengembangan kiyas menurut imam yang lain. menurut abu hanifah, kias
adalah mengidentikkan suatu perkara yang tidak ditegaskan hukumnya dalam teks
dalil dengan perkara lain yang ditegaskan hukumnya, karena memiliki kesamaan
alasan hukum atau keduanya serupa. Demikaian juga fuqoha’ yang lain sampai
kepada Asy-syafi’i.
Imam Ahmad dalam menggunakan kias juga berpegang kepada
kemaslahatan, yaitu kemaslahatan yang tidak ada dalil tentang keharaman dan
kehalalnnya. Beliau berpegang dengan kemaslahatan karena dikiaskan kepada ruh
syariat yang dipetik dari alquran dan sunnah, meskipun bukan kias kepada teks
yang khusus.
Disamping itu, beliau juga menggunakan
ihtisan, yang menghukumi suatu masalah dengan hukum selain yang
ditetapkan pada masalah yang sepadan dengannya dan untuk memelihara
kemaslahatan. Lain halnya dengan, Asy-Syafi’i yang berkata, “ihtisan adalah
bersenang-senang”.
Imam Ahmad juga menggunakan istishhab, yakni melestarikan
suatu peristiwa, sehingga hukum yang telah berlaku pada masa lampau berlaku
pula pada masa sekarang. \
Beliau juga berpegang pada sesuatu yang merupakan “jalan” atau
“pereantara” yang menyebabkan suatu tindakan. Dalam hal ini, beliau
mengembangkanya tidak seperti imam madzhad yang lain. beliau berpendapat bahwa
“jalan” untuk mewujudkan tujuan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan yang ingin
dicapai. Sebab “perantara” bagi sesuatu yang haram adalah haram, dan perantara
bagi sesuatu yang mudbah dalah mubah, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu
Al-Qayyim, salah seorang pensyarah fiqih imam ahmad.
Oleh karena itu imam ahmad memandang penting masalah motivasi dan
hasil suatu tindakan. Maka barangsiapa hendak membunuh seseorang dengan anak panah,
tetapi tidak mengenainya, bahkan mengigit seekor ular yang akan menggigitnya,
maka dihadapan Allah ia berdosa, karena motivasi tindakanya adalah jelek, yaitu
ingin membunuh orang. Dan barangsiapa mencaci-maki tuhan-tuhan para penyembah
berhala, lalu mengakibatkan mereka mencaci-maki allah dan Rasulullah, maka
cacian yang dilakukan terhadap tuhan-tuhan penyembah berhala tersebut berdosa,
karena caci maki penyembah berhala kepada Allah dan Rasulullah disebabkan
karena cacian orang itu terhadap para penyembah berhala.
Kebanyakan pendapat imam Ahmad merupakan atas jawaban dari berbagai
pertanyaan, dan sebagian dari jawaban-jawabannya tersebut hanya mengikuti
sunnah dan fatwa para sahabat, sedangkan sunnah menurut beliau adalah penjelas
dari Alquran.
Ada sejumlah pertanyaan yang tidak dijawab oleh imam ahmad, karena
beliau tidak menemukan teks dalil yang menunjukkan jawabnya. Akan tetapi beliau
tidak tinggal diam, melainkan menyampaikan berbagai segi pandangan dalam
masalah-masalah tersebut. Imam ahmad sering berkata, “saya tidak tahu,
bertanyalah kepada selain aku”.
Sehubungan mengikuti sunnah, dan atsar orang-orang salaf, imam
ahmad berkata, “saya tidak menjawab suatu pertanyaan kecuali dengan hadis
rasulullah Saw. Apabila saya mendapatkannya, atau berdasarkan atsar sahabat dab
tabi’in. apabila saya mendapatkan hadis dari Rasulullah Saw. Maka saya tidak
berpindah kepada yang lain. apabila saya tidak mendapatkannya, maka saya
mencari jawaban dari khulafa’ur rasyidin yang empat. Lalu apabila saya tidak
mendapatkannya, maka saya mencari jawaban dari para sahabat Rasulullah Saw.
Dari yang paling senior lalu berikutnya. Apabila tidak mendapatkannya maka saya
mencari jawaban dari tabi’in dan dari tabi’ut tabi’in. tidak ada amalan yang
sampai kepadaku yang menjanjikan pahala kecuali saya mengamalkannya dengan
mengharap pahala tersebut meskipun hanya satu kali”.
Imam Ahmad sangat keras dalam segala hal yang berkaitan dengan
masalah ibadah dan hudud (sanksi pidana yang jenis kadarnya ditentukan Allah
atau Rasulullah) yang merupakan tiang agama. Karena beliau melihat berbagai
kegiatan bid’ah yang mewarnai kegiatan manusia dan mereka sangat toleran
terhadapnya, padahal telah keluar dari batasan agama.
BAB III
Penutup
3.1.
Kesimpulan
1. Imam Abu
Hanifah
Nama
lengkapnya adalah Al-Nu’man bin Tsabit bin Marzaban Al farisy biasa dipanggil
Abu Hanifah, gelarnya Al Imam Al-‘Azam (Imam besar), dan terkenal dengan
sebutan Imam Ahli Al-Ra’yi (Imam ahli logika). Dilahirkan tahun 80 H. Di Kuffah
pada masa kholifah Abdul Malik bin Marwan, dan hidup di dalam keluarga kaya
yang shaleh. Dia menghafal Al Quran sejak masa kecil dan merupakan orang
pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru. Abu Hanifah adalah
salah satu dari imam empat dan pemilik madzhab yang terkenal.
2.
Imam Malik
Nama
lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Ashbahiy Al-Himyari
yang biasa dipanggil Abu Abdullah,
gelarnya Imam Dar Al-Hijrah. Dilahirkan di Madinah tahhun 93 H. Seorang yang
tinggi tegap, hidungnya mancung, matanya biru, dan jeenggotnya panjang. Baik
perangainya, cerdas, cepat hafal dan faham Al-Quran sejak masa kecilnya.
Merupakan salah satu imam empat dan pemilik madzhab yang banyak diikuti.
3.
Imam
Syafi’i
Nama
lengkapnya Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman nib Syafi’ bin Sya’ib bin
Ubaid bin Hisyam bin Abdul Mutholib bin Abdu Manaf bin Khusyai. Dilahirkan di
Syam tahun 150 H di hari wafatnya Imam Abu Hanifah. Tinggal di kota Makkah
kemudian ke Iraq, sampai akhirnya menetap di Mesir. Hidup dalam kondisi yatim,
dan ibunda mengajarinya ilmu. Hafal Al Quran pada usia 7 tahun. Meriwauyatkan
dari Imam Malik, Muslim Az Zanji, Ibnu Uyainah, Ibrahim bin Saad Fudail bin
Abbas dan lainnya. Sementara yang meriwayatkan dirinya adalah Al Humaidi, Ahmad
bin Hambal, Al Buwqaidi, Al Muzani, dan lainnya. Menjadi murid Imam Malik
belajar dalam ilmu fikih, menghafal Al Muwathof pada usia 20 tahun. Sangat
cerdas, kuat hafalannya pada penglihatan pertamanya, dengan cara menutupi
halaman sesudahnya karena khawatir akan terbaur. Salah satu Imam 4 , dan
pemilik madzhab yang diikuti. Madzhabnya tersebar di Mesir, Iraq, Dagistan, dan
negeri timur.
4.
Imam
Ahmad Bin Hambal
Nama
lengkapnya adalah Ahmad bin Hambal Syaibani Al-Marwazi dan biasa dipanggil Abu
Abdullah gelarnya Imam ahli sunnah. Dilahirkan di Baghdad tahun 164 H. Mencari
ilmu di Mekkah, Madinah, Syam, Yaman, Kuffah, Bashrah dan di tempat lain. Tidak
berkeluarga kecuali setelah usianya empat puluh tahun, sehingga urusan mencari
nafkah dan nikah tidak mengganggu waktunya untuk mencari ilmu. Berguru kepada
Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin Saad, Yahya Al-Qathan dan kepada yang lain.
Meriwayatkan dari Baghawi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Dunya dan yang lain. Imam
Syafi’iy berkata kepadanya kerika bepergian yang kedua ke Baghdad: “Wahai Abu
Abdullah, kalau menurutmu Hadits ini shohih dan kamu mengabariku, maka aku akan
pergi mencari ke Hijaz, Syam, Irak, atau Yaman. Dia selalu membaca Hadits dari
kitab, tidak pernah menyampaikan Hadits dengan hafalannya. Dia merupakan
seorang Imam Hadis di Zamannya.
Dalam
pengambilan hukum imam 4 madzhab ini mempunyai dasar yan berbeda-beda,
diantaranya:
1. Imam
Abu Hanifah
Cara
pengambilan hukum Imam Abu Hanifah berdasarkan pada Al-Quran, hadits, Akan
tetapi hanya hadits yang benar-benar shahih sajalah yang dijadikan sandaran.
Dalam metode qiyasnya, ia tidak berbeda jauh dengan para Imam ahli fikih
lainnya, yakni tidak mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum yang pernah berlaku
sebelumnya, khususnya mengenai kasus-kasus yang tidak terdapat di dalam
Al-Quran dan Sunnah.
2. Imam
Maliki
Dalam berfatwa dan berpendapat, imam malik berpegang kepada
alquran, sunnah, ijma’, amal penduduk madinah, dan pemeliharaan kemaslahatan.
3. Imam
Syafi’i
Cara
pengambilan beliau dalam menetapkan hukum yaitu dengan berdaasarkan pada
Alqur’an, Sunnah, kiyas, dan ijma’.
4.
Imam
Ahmad Bin Hambal
Penggalian hukum-hukum yang beliau lakukan berdasarkan pada
teks-teks Alquran, sunnah, dan pendapat, serta atsar para sahabat, kemudian
dengan kias.
3.2.
Saran
Tiada gading yang tak rentak begitulah kata pepatah.
Seperti halnya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik
saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapan agar makalah ini
bisa menjadi referensi dalam pembelajaran Studi fiqih tentang Sejarah Singkat
dan Pandangan Pendiri 4 Madzhb dalam Hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Fikri,
Ali, Kisah-kisah Para Imam Madzhab, Yogyakarta, MITRA PUSTAKA, 2003.
Asy-Syarqawi,
Abdurrahman, kehidupan, pemikiran, dan perjuangan 5 imam terkemuka,
Bandung, Albayan, 1994.
Mursi,
Muhammad said, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejaran, Jakarta, PUSTAKA
ALKAUTSAR, 2007.
Farid,
Syaikh Ahmad, 60 Biografi Ulama’ Salaf, Jakarta, PUSTAKA ALKAUTSAR, 2007.
Asy-Syarqawi,
Abdurrahman, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 2000.
ijin copas, mksh
BalasHapus