Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi adalah ulama’ yang sangat kesohor. Disebut al-Bantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia. Beliau bukan ulama biasa, tapi memiliki intelektual yang sangat produktif menulis kitab, meliputi fiqih, tauhid, tasawwuf, tafsir, dan hadis. Jumlahnya tidak kurang dari 115 kitab.
Lahir dengan nama Abû
Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam
tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah
desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang
di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh
Nawawi Bantani) pada tahun 1230 H atau 1813 M ini bernasab kepada keturunan
Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-11 dari
Sultan Banten. Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi
Muhammad saw. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas,
yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara,
nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah beliau seorang Ulama Banten,
‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.
Semenjak kecil beliau
memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah
diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Pertanyaanpertanyaan kritisnya sering
membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada
usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya keberbagai pesantren di Jawa. Beliau
mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada
Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.[1]
Di usia beliau yang belum
lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai
kemudian karena karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, beliau mencari
tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian
hari bertambah banyak. Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru
kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi,
Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, ‘Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid
Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad
Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh
adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad
Dimyati, ulama terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau
terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam
pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khâtib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama
besar di Medinah.
Tiga
tahun lamanya Nawawi menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah itu, ia pun
kembali ke Indonesia. Lalu, ia mengajar di pesantren ayahnya. Namun di tanah
air, ia tidak dapat mengembangkan ilmunya karena saat itu negara Indonesia
memang sedang dijajah Belanda. Akhirnya, Nawawi kembali ke Mekkah dan tinggal
di daerah Syi’ab ‘Ali.
Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897
M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M.
Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan
makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma? binti Abû Bakar
al-Siddîq.
1.2.karya-karya
imam nawawi.
Syekh Nawawi juga giat menulis buku. Ia
termasuk penulis yang banyak melahirkan karya. Ia banyak menulis kitab tentang
persoalan agama. Paling tidak, 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary
of Arabic Printed Books karya Yusuf. Beberapa kalangan bahkan
menyebutkan bahwa Nawawi telah menulis lebih dari 100 judul buku dari berbagai
disiplin ilmu. Sebagian karya Syekh Nawawi diterbitkan di Timur Tengah. Dengan
karya-karyanya ini, ia ditempatkan sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga
kini. Selanjutnya, kitab-kitabnya itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan
agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Malaysia, Filipina,
Thailand, dan juga di Timur Tengah.
Karya-karya
besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir,
sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir,
tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang
ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu
kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa
memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau
banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan
Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh
pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam
beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi
Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy).
Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath
ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar
al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan
dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi
mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur
al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan
konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki
sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah
adalah perbuatannya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib,
mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan
mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada
Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan
tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep
sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang
berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di
negeri ini.
Kemudian
mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama,
tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus
didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan
keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari
aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap
mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal
pikirannya.
Tema
yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes
of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan
dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran
teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah
wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya
ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua
perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya
manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks
Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan
kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir
kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan
konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya
sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem
teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena
kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada
satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan
Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam
kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan
lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah
umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan
Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan
Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat
menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa
kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial
Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu
dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan
pada mereka.
Sementara
di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor”
mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya
seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi
Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil
memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi
yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi
luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah
diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya.
Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya
untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik
untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya
yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sejauh
itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan
ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia
memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi
menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf
yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman,
seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat
merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim
al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya
‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap
tarekat.
Pandangan
tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang
ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak
ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan
antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih
mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal,
tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat
diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat
(hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara
hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan
bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat
tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam,
syariat.
Paparan
konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap
pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari
rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi
harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan
(dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah
Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Nawawi pun dijuluki Imam Nawawi kedua. Nawawi
pertama adalah yang menulis Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syahrul
Muhadzdzab, Riyadhush Shalihin, dan lain-lain. Ia tetap dipanggil Syekh
Nawawi (al-Bantani) bukan Imam Nawawi (ad-Dimasyqi).
Nama Syekh Nawawi pun termasuk salah satu ulama
besar abad ke-14 H/19 M. Tentu ini berkat karya Nawawi yang tersebar luas dan
ditulis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Berkat kemasyhurannya
pula, ia mendapat gelar A’yan ‘Ulama al-Qarn ar-Ram ‘Asyar Li
al-Hijrah, al-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid
‘Ulama al-Hijaz.
Karya Nawawi pun banyak masuk di Indonesia. Hal
ini tentu berdampak pada perkembangan wacana keislaman di pesantren. Sejak
1888, kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Jika sebelumnya tidak
ditemukan sumber referensi di bidang tafsir, ushul fiqh, dan hadits, sejak saat
itu bidang keilmuan tersebut mulai dikaji. Perubahan ini juga tidak terlepas
dari jasa tiga ulama Indonesia, yaitu Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib, dan
Kiai Mahfuz Termas.
Karya-karya Nawawi memang sangat berpengaruh
bagi pendidikan pesantren. Sampai tahun 1990, diperkirakan terdapat 22 judul
tulisan Nawawi yang masih dipergunakan di pesantren. Selain itu, 11 karya
populer sering digunakan sebagai kajian di pesantren-pesantren.
Penyebaran karya Nawawi di sejumlah pesantren yang
tersebar di seluruh wilayah Nusantara pun makin memperkokoh pengaruh ajaran
Nawawi. Perlu diketahui, penyebaran karya Nawawi tersebut tidak terlepas dari
jasa K.H. Hasyim Asy’ari, salah seorang murid Nawawi yang berasal dari Jombang.
K.H. Hasyim Asy’ari-lah yang memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di
pesantren-pesantren di Jawa.
Karya-karya imam nawawi antara lain:
- al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
- al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
- Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
- Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh
wa al-Tasawwuf
- al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
- Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
- Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
- Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
- Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
- Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
- al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ
mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
- Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
- Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ
al-Kawâkib al-Jaliyyah
- Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
- Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
- Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
- Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
- Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
- Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
- Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
- Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
- Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
- Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
- al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
- ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
- Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
- Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
- al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
- Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa
almu’âdah
- Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
- al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb
al-Tashrîfiyyah
- al-Riyâdl al-Fauliyyah
- Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
- Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
- al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
- Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
- al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
- Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.[4]
Karya tafsirnya, al-Munîr,
sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain,
karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat
terkenal itu. Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau komentar
terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir
al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang matan
yang dikomentarinya. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân
al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits
misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam
al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân,
Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi
sebuah kitab fiqih karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri
pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain.
Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib,
terutama di Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang
ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci.
Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini,
seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan
muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan
perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik
terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan
intelektual beliau.
Berkat kepakarannya,
beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck
Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual
masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq
(Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan
juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz
(Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Selain
mempunyai gelar dan karya-karya yang luar biasa, imam nawawi juga mempunyai
banyak murid yang menjadi ulama’ terkenal di Indonesia, di antaranya:
1.
|
KH Hasyim
Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak bersama KH Wahab Hasbullah
mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
|
2.
|
KH
Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
|
3.
|
KH
Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur.
|
4.
|
KH
Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh Nawawi dinikahkan
dengan putrinya, Nyi Maryam.
|
5.
|
KH
Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan mantunya (cucu).
|
6.
|
KH
Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di Banten).
|
7.
|
KH
Ilyas, Kragilan, Serang.
|
8.
|
KH Abdul
Ghaffar, Tirtayasa, Serang.
|
9.
|
KH
Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
|
10.
|
KH Mas
Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian dibuang Belanda ke
Manado, Sulawesi Utara, karena peristiwa Geger Cilegon.
|
Mata pelajaran yang diajarkan Nawawi meliputi
Fikih, Ilmu Kalam, Tasawuf/Akhlak, Tafsir, dan Bahasa Arab.
trimakasih ya. Saya jga sedang menulis biografi beliau. izin jadikan referensi
BalasHapussyukron ya artikelnya,
BalasHapusizin copy :)